Beranda | Artikel
Milik Allah Timur dan Barat
Kamis, 12 Desember 2019

Bismillah.

Allah berfirman (yang artinya), “Dan milik Allah semata, arah timur dan barat. Maka kemana pun kalian berpaling/menghadap maka di sana ada wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas lagi Mahamengetahui.” (al-Baqarah : 115)

Ayat yang mulia ini menunjukkan tentang betapa luasnya cakupan kerajaan dan kekuasaan Allah. Di dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa Allah meliputi segala sesuatu dengan ilmu dan karunia-Nya. Seandainya seorang menghadap atau berjalan kemana pun maka sesungguhnya Allah meliputi dan mengetahui keadaannya (lihat Ahkam minal Qur’an oleh al-Utsaimin, 1/413)

Selain itu ayat ini juga mengandung penetapan salah satu sifat Allah; yaitu Allah memiliki wajah. Maka wajib bagi kita meyakininya sebagaimana zhahirnya/apa adanya. Dimana wajah Allah itu sesuai dengan kemuliaan dan keagungan-Nya sehingga tidak serupa dengan wajah-wajah makhluk. Maka demikian pula sifat-sifat Allah yang lain semacam dua tangan, dua mata. Maka wajib bagi seorang mukmin untuk menetapkan hal itu secara hakiki/apa adanya. Akan tetapi kita tidak boleh menentukan bentuk/kaifiyat sifat itu dan tidak boleh menyerupakan wajah Allah dengan wajah makhluk-Nya (lihat Ahkam minal Qur’an, 1/414)

Ayat yang mulia ini telah ditafsirkan maksudnya dalam sebuah hadits yang dibawakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitabnya Bulughul Maram (hadits ke-166). Ibnu Hajar berkata : Dari Amir bin Rabi’ah radhiyallahu’anhu, dia berkata : Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam maka kami pun kesulitan mencari arah kiblat. Kami pun tetap melaksanakan sholat. Ketika matahari sudah terbit (siang hari) jelaslah bahwa kami telah melakukan sholat tidak menghadap kiblat, maka turunlah ayat (yang artinya), “Maka kemana pun kalian menghadap maka di sana ada wajah Allah.” (al-Baqarah : 115). Ibnu Hajar berkata : Hadits ini dikeluarkan oleh Tirmidzi dan dia melemahkannya. Syaikh Abdullah al-Bassam rahimahullah menjelaskan bahwa hadits ini berderajat hasan (lihat Taudhih al-Ahkam, 1/516). Hadits ini juga dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah (lihat Shahih Sunan Tirmidzi no. 345)

Hadits Amir bin Rabi’ah tersebut juga dibawakan oleh Imam Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan salah satu maksud yang tercakup di dalam ayat ini (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, 1/392-393 tahqiq Sami bin Muhammad as-Salamah)

Syaikh Abdullah al-Bassam rahimahullah mengatakan, “Apabila arah kiblat samar bagi musafir lalu dia melakukan sholat dan ternyata tampak baginya arahnya keliru maka sholatnya tetap sah; sama saja apakah dia mengetahui salahnya pada waktu sholat tersebut masih ada atau sudah berlalu/habis waktu sholat itu.” (lihat Taudhih al-Ahkam, 1/516)

Dari sini kita mengetahui bahwa pada dasarnya sholat wajib menghadap kiblat/arah Ka’bah. Akan tetapi apabila orang sudah berusaha dan tidak bisa menentukan dengan pasti lalu dia sholat ke suatu arah yang dianggap kiblat dan ternyata kemudian terbukti salah, maka sholatnya tetap sah dan tidak perlu diulang. Keabsahan itu diisyaratkan oleh kalimat “Maka kemana pun kalian menghadap maka di sana ada wajah Allah.” Yang menggambarkan bahwa ke arah mana pun seorang muslim menghadap maka dia akan tetap mengabdi kepada Allah sesuai dengan apa yang diperintahkan kepadanya; dan seandainya dia tersalah atau keliru secara tidak sengaja maka hal itu dimaafkan.

Imam Muhammad bin ‘Ali asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan bahwasanya menghadap Ka’bah ketika sholat merupakan kewajiban bagi orang yang bisa melihat Ka’bah sedangkan bagi orang yang tidak bisa melihatnya secara langsung maka dia cukup mengerjakan sholat ke arahnya (lihat ad-Darari al-Mudhiyyah Syarh ad-Durar al-Bahiyyah, hlm. 75)

Oleh sebab itu wajibnya menghadap kiblat ketika sholat adalah perkara yang diketahui oleh setiap muslim. Dan yang dimaksud kiblat itu adalah Ka’bah atau ke arahnya. Ibnu Rusyd rahimahullah berkata, “Apa-apa yang dinukil secara mutawatir seperti -wajibnya- menghadap kiblat dan bahwa kiblat itu adalah ke arah Ka’bah; tidak ada yang menolak/membantah hal ini kecuali orang kafir.” (dinukil dengan perantaraan Taudhih al-Ahkam, 1/517)

Di dalam fikih Madzhab Syafi’i juga telah diterangkan bahwa menghadap kiblat termasuk syarat sholat, dan boleh tidak menghadap kiblat apabila dalam keadaan tercekam ketakutan yang sangat dahsyat atau ketika sholat sunnah pada waktu bersafar dengan naik kendaraan. Begitu pula dibolehkan bagi musafir yang berjalan kaki untuk sholat sunnah dengan tidak menghadap kiblat (lihat Matn al-Ghayah wa at-Taqrib, hlm. 64-65 tahqiq Majid al-Hamawi) 

Begitu pula dalam fikih Madzhab Hanbali diterangkan bahwa menghadap kiblat adalah salah satu syarat sah sholat. Dalilnya firman Allah (yang artinya), “Dan kemana pun kamu keluar maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram, dimana pun kalian berada maka hadapkanlah wajahmu -ketika sholat- ke arahnya.” (al-Baqarah : 150). Apabila orang tidak mampu memenuhi syarat ini karena sakit atau sebab lain maka ia gugur karena Allah tidak membebaninya kecuali sebatas kemampuannya (lihat Ibhajul Mu’minin bi Syarh Manhajis Salikin, 1/133-134)

Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma berkata : Diturunkan ayat (yang artinya), “Maka kemana pun kalian berpaling/menghadap maka di sana ada wajah Allah.” Maksudnya hendaklah kamu mengerjakan sholat ke arah mana hewan tungganganmu menghadap; yaitu ketika mengerjakan sholat sunnah (lihat ad-Durr al-Mantsur fi at-Tafsir bil Ma’tsur, 1/565)

Imam Ibnu Abi Syaibah, Bukhari, dan Baihaqi meriwayatkan dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhu bahwa dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah sholat di atas hewan tunggangannya menghadap ke arah timur. Apabila beliau hendak sholat wajib maka beliau pun turun dan menghadap kiblat lalu mengerjakan sholat (lihat ad-Durr al-Mantsur, 1/565)

Imam Abdu bin Humaid dan Tirmidzi meriwayatkan dari Qatadah mengenai tafsiran dari ayat ini (yang artinya), “Maka kemana pun kalian berpaling/menghadap maka di sana ada wajah Allah.” Qatadah berkata : Ayat ini telah dimansukh/dihapus hukumnya. Yaitu dihapus dengan ayat (yang artinya), “Maka palingkanlah wajahmu menghadap ke Masjidil Haram.” (al-Baqarah : 144) yaitu hendaknya kamu sholat menghadap ke arahnya (lihat ad-Durr al-Mantsur, 1/568)

Faidah : Imam Ibnu Katsir rahimahullah membantah apabila ada orang yang menafsirkan bahwa kalimat ‘Maka kemana pun kalian berpaling/menghadap maka di sana ada wajah Allah’ menunjukkan bahwa Allah ada di mana-mana. Sebagian orang berkata, “Dan Allah ta’ala tidaklah ada satu tempat pun yang kosong dari-Nya.” Ibnu Katsir berkata, “Apabila yang dimaksud -ada dimana-mana- itu adalah ilmu Allah maka itu benar. Karena ilmunya Allah meliputi segala hal. Adapun dzat Allah ta’ala tidak dibatasi oleh sesuatu pun dari makhluk-Nya. Mahatinggi Allah dari hal itu dengan ketinggian yang mahabesar.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, 1/391-392)

Ibnu Qudamah rahimahullah dalam Lum’atul I’tiqad menegaskan bahwa ilmu Allah meliputi segala tempat, tidak ada satu tempat pun yang kosong dari ilmu Allah. Dan sebagaimana telah jelas dari dalil-dalil bahwa Allah berada di atas langit menetap tinggi di atas Arsy, meskipun demikian tidak ada sesuatu perkara pun yang samar bagi Allah di langit maupun di bumi, pada masa lalu maupun masa depan. Allah telah mengetahui semuanya. Sehingga ada perbedaan antara dzat Allah dengan ilmu-Nya. Dzat Allah berada tinggi di atas langit, sedangkan ilmu-Nya mahaluas meliputi segala sesuatu (lihat Syarh Lum’atil I’tiqad oleh Syaikh al-Fauzan, hlm. 27)

Inilah aqidah salaf sebagaimana ditegaskan oleh Imam Malik rahimahullah. Beliau mengatakan, “Allah berada di atas langit sedangkan ilmu-Nya ada dimana-mana. Tidak ada satu tempat pun yang luput dari ilmu Allah…” (dinukil melalui al-Jami’ fi ‘Aqa’id wa Rasa’il Ahlis Sunnah, hlm. 180)


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/milik-allah-timur-dan-barat/